Bismillah,
Tentang Habaib yang banyak di Indonesia, perlu
diketahui bahwa asal-usul mereka adalah dari Hadramaut (Yaman Selatan). Memang
sebagian besar dari mereka mengaku keturunan Ali bin Abi Thalib, sebab itulah
mereka juga disebut Bani Alawi atau Alawiyyin (sebagaimana yang diakui oleh
sdr. Novel Alaydrus dalam bukunya: Jalan Nan Lurus, Sekilas Pandang Tarekat
Bani Alawi). Tapi saya tidak berani memastikan apakah semua yang ngaku ‘habib’
berarti keturunannya Ali.
Tentang akidah mereka, menurut penulis kitab
Idaamul Quut fi Dzikri Buldaani Hadramaut, yang juga ‘habib’, namanya
Abdurrahman bin Ubeidillah Assegaf (w. 1375 H), dalam halaman 897 beliau
mengatakan bahwa orang-orang Alawiyyin di Hadramaut terbagi dalam tiga periode:
Pertama, sejak leluhur mereka yang bernama
Ahmad bin Isa Al Muhajir hingga Al Faqih Al Muqaddam. Al Muhajir, yakni yang
hijrah dari Irak ke Hadramaut dan menjadi cikal bakal Alawiyyin di sana.
periode ini menurut beliau masih berpenampilan seperti para sahabat dan
memanggul senjata, singkatnya mereka masih berakidah Ahlussunnah wal jama’ah.
Periode kedua, adalah sejak Al Faqih Al
Muqaddam ke Al Aydrus. Al Faqih Al Muqaddam adalah tokoh mereka yang pertama
kali meletakkan senjata dan menganut tasawuf.
Periode ketiga adalah, setelah Al Aydrus
hingga abad ketiga belas Hijriyah, yang telah terwarnai dengan tasawuf tulen.
Tidak tahu pasti kapan mereka mulai datang ke Indonesia, tapi yg jelas mereka
datang setelah terwarnai ajaran sufi, bukan membawa faham Ahlussunnah yang
murni, seperti yang diakui juga oleh Novel Alaydrus dalam bukunya tadi. Dan
sebagaimana kita ketahui, tasawuf merupakan gerbang dari banyak aliran sesat
dan sarat dengan bid’ah khurafat. Oleh karenanya, setiap aliran sesat bisa saja
menyusup lewat tasawuf, lewat kedok cinta kepada ahlul bait, dst… sebagaimana
yang dilakukan oleh syi’ah. Apalagi ada kemiripan antara tarekat Bani Alawi
dengan syi’ah, yaitu keduanya sama-sama mengajarkan umat untuk cinta kepada
Ahlul Bait (baca: menyanjung para habaib), dengan cium tangan kepada mereka,
menghadiri acara haul mereka,dsb… ini jelas suatu kemaslahatan yang akan mereka
pertahankan, dan sedikit banyak cocok dengan ajaran syi’ah yang juga
mengultuskan ahlul bait.
Makanya tidak heran jika banyak dari
dedengkot-dedengkot syi’ah baik nasional maupun internasional berasal dari
mereka. Contohnya Hussein Al Habsyi asal Bangil (dia sudah binasa, bukan yang
buta dan pernah dipenjara itu), dia pernah langsung baiat dengan Khomeini, dan
pendiri YAPI, salah satu organisasi syiah tertua di Indonesia. Demikian pula
Quraisy Shihab, Haidar Bagir, dll. Mereka juga dari kalangan Habaib.
Menyedihkan memang, tatkala orang yang mengaku
anak cucu Rasulullah justru menjadi musuh ajaran beliau. Bukannya mereka
menghidupkan sunnah-sunnah Nabi, namun justeru melestarikan bid’ah khurafat di
masyarakat. Saya rasa sebab dari ini semua adalah hawa nafsu dan kepentingan
duniawi… mereka khawatir kehilangan pamor di masyarakat kalau meninggalkan
ajaran leluhurnya, mengingat sikap mereka yang sangat eksklusif dalam menjaga
nasab dan tradisi. Bahkan karena eksklusivisme inilah akhirnya berdiri Yayasan
Al Irsyad sebagai tandingan atas Jami’at Khair yang mereka dirikan. Al Irsyad
berdiri sebagai gerakan pembaharuan atas pemikiran-pemikiran kolot yg mereka
tanamkan di masyarakat Indonesia, baik yang pribumi maupun keturunan Arab. Di
antara pemikiran tersebut ialah tidak bolehnya seorang wanita ‘alawiyah
dinikahi oleh pria yang bukan ‘alawi, walaupun ia orang Arab. Tentu ini bukan
ajaran Islam, tapi fanatisme jahiliyah yang harus direformasi, sebab Nabi
sendiri menikahkan dua orang puterinya (Ruqayyah & Ummu Kultsum) kepada
Utsman bin Affan yang notabene adalah Bani Umayyah, bukan Ahlul Bait, Kemudian
Ali bin Abi Thalib menikahkan puterinya yang bernama Ummu Kultsum (yang berasal
dari Fatimah radhiyallahu 'anha) kepada Umar bin Khatthab yang bukan dari Bani
Hasyim, namun dari Bani Adiy, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Dari
sinilah akhirnya muncul dua kubu: Habaib dan Masyayikh. Habaib dengan tradisi
tasawufnya, sedangkan Masyayikh (non Habaib) dengan gerakan pembaharuannya,
seperti Al Irsyad.
Memang bisa dibilang 99% dari para habaib tadi
yang tinggal di Indonesia adalah penganut tarekat (sufi). Itu karena mereka
sangat terikat dengan tradisi keluarga yg kolot tadi. Tapi beda dg kondisi
mereka yg terpelajar dan ingin membuka fikirannya, atau mereka yang tinggal di
Malaysia, Saudi, atau negara-negara maju, mereka tidak lagi terikat dengan
tradisi kolot tersebut sehingga banyak yang kembali menjadi salafi, atau paling
tidak bukan sufi lagi.
Tentang taqiyyah, saya tidak berani memastikan
bahwa mereka bertaqiyyah sepertt orang syi’ah, karena mayoritas mereka bukan
syi’ah namun sufi, dan sufi masih berbeda dengan syi’ah karena kaum sufi masih
menghargai para sahabat dan tabi’in, bahkan terkadang mengkeramatkan kuburan
mereka. Ini jelas berbeda dengan keyakinan syi’ah yang mengkafirkan para
sahabat tadi. Tapi kalau sudah diindikasikan syi’ah, ya siapa pun orangnya
pasti akan bertaqiyyah, terlepas dari habib-kah dia atau bukan.
Wallaahu ta’aala a’lam.
Sumber : http://muslim.or.id/manhaj/hegemoni-syiah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar