Rabu, 29 September 2010

Akhirnya… Cintaku Berlabuh Karena Allah


Awalnya Aku bertemu dengannya di sebuah acara yang di selenggarakan di rumahku sendiri, gadis itu sangat berbeda denga cewek-cewek lain yang sibuk berbicara dengan laki-laki dan berpasang-pasangan. Sedangkan dia dengan pakaian muslimah rapi yang dikenakannya membantu mamaku menyiapkan hidangan dan segala kebutuhan dalam acara tersebut. Sesekali gadis itu bermain di taman bersama anak-anak kecil yang lucu, kulihat betapa lembutnya dia dengan senyuman manis kepada anak-anak.
Dari sikapnya itulah aku tertarik untuk mengenalnya, akhirnya dengan pede-nya kuberanikan diri untuk mendekatinya dan hendak berkenalan dengannya. Namun, kenyataannya dia menolak bersalaman denganku, dan Cuma mengatakan, “maaf” dan berlalau begitu saja meninggalkanku. Betapa malunya aku dengan teman-temanku yang ada di sekitarku. “ini cewek kok jual mahal banget! Padahal begitu banyak cewek yang justru berlomba-lomba mau jadi pacarku. Dia, kenalan saja tidak mau!” ujarku.

 Dari kejadian itu aku menjadi penasaran dengan gadis tersebut. Lalu aku mencari tahu tentangnya. Ternyata dia adalah anak tunggal sahabat rekan bisnis papa. Setiap ada pertemuan di rumah gadis itu, aku selalu ikut bersama papa. Gadis itu bernama Nina, kuliah di sebuah fakultas kedokteran. Dia merupakan anak yang tidak suka berpesta, berfoya-foya, dan keluyuran seperti cewek kebanyakan di kalangan kami. Aku pun jarang melihatnya jika aku pergi ke rumahnya. Dengan berbagai alasan yang kudengar dari pembantunya, sakitlah, lagi mengerjakan tugas, atau kecapekan. Pokonya dia tidak pernah mau keluar. Hingga suatu hari aku dan papa bertamu ke rumahnya, pada saat itu Nina baru saja pulang –dengan busana Muslimahnya yang rapi-, terlihat turun dari mobil, namun belum jauh dia melangkah dia pun terjatuh pingsan dan mukanya terlihat sangat pucat. Kami berada di ruang tamu bergegas keluar dan papanya pun menggendong ke kamar serta meminta tolong kami menghubungi dokter.
Dari hasil pemeriksaan dokter, Nina harus dirawat di rumah sakit. Keesokan harinya aku datang ke rumah sakit bermaksud untuk menjenguknya, betapa kagetnya kau ketika kutahu Nina terkena Leukimia (kanker darah). Aku bertanya,”kenapa gadis selembut dan sesopan dia harus mengalami hal seperti itu?” Perasaan kesalku padanya berubah menjadi kasihan an khawatir. Setiap usai kuliah kusempatkan menjenguknya. Aku mendapatinya sering menangis sendirian…entah itu karena tidak ada yang menjaganya atau karena penyakit yang dideritanya.
Beberapa hari di rumah sakit, Nina memintaku keluar setiap kali aku masuk. Aku pun mendatanginya di rumah tapi dia tidak pernah mau keluar menemuiku dan hanya mengurung diri di kamar. Aku tidak menyerah begitu saja, kucoba menelepon Nina dan berharap dia mau bicara denganku. Namun dia tetap tidak mau mengangkat telepon dariku, lalu kukirimkan sms padanya agar dia mau jadi pacarku, tapi tidak ada balasan dan malah HP-nya dimatikan semalaman.
Keesokan harinya aku nekat datang ke rumahnya untuk meminta maaf atas kelancanganku. Ternyata dia akan berangkat ke kota Makassar, kampung orang tuanya. Karena orang tuanya tidak dapat mengantarkannya aku pun menawarkan diri untuk mengantarkannya, tapi Nina lebih memilih taksi dengan alasan tidak mau merepotkan orang. Sebelum naik ke mobil dia menitipkan kertas untukku kepada mamanya.
Alangkah hancur hatiku ketika membaca sebait kalimat yang berbunyi, “Maaf saat ini aku hanya ingin berkonsentrasi kuliah.” Hatiku remuk dan perasaanku kesal sekali ini pertama kalinya aku ingin pacaran, tapi ditolak. Sebenarnya, aku tidak begitu suka dengan hubungan pacaran itu kerna begitu banyak dampak negatifnya sampai ada yang rela bunuh diri karena ditinggalkan kekasihnya, naudzubillahi mindzalik.Namun entah mengapa ketika aku melihat Nina aku tergoda untuk menjalin hubungan itu.
Dari perpisahan itu aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sampai gelar sarjana aku raih. Lalu aku bekerja di perusahaan milik keluargaku sebagai satu-satunya ahli waris. Melihat ketekunanku dalam bekerja, papa Nina menyukaiku hingga hubungan kami menjadi akrab dan kuutarakan maksudku bahwa aku menyukai Nina, anaknya dan ternyata papa Nina setuju untuk menjadikan aku sebagai menantunya.
24 Oktober 2006, bertepatan dengan hari raya Iedul Fitri, aku dan orang tuaku bersilaturahmi ke rumah keluarga Nina dengan maksud membicarakan perjodohanku dengan Nina. Tapi pada saat itu Nina baru dirawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina terlihat sangat pucat, lemah, dan senyumannya seakan menghilang dari bibirnya. Hari itu orang tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena orang tuanya akan berangkat ke luar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau meladeniku.
Suatu hari aku mendapati Nina terlihat kesakitan, darah keluar dari hidung dan mulutnya. Aku bermaksud mengusap darah dan keringat yang ada di wajahnya, tetapi secara spontan dia menamparku pada saat aku menyentuh wajahnya. Betapa kagetnya diriku dibuatnya, aku tidak menyangka sama sekali Nina akan menamparku.’Sungguh betapa dia menjaga kehormatannya untuk tidak disentu lelaki yang bukan mahramnya (saat itu aku belum tahu tentang hal itu). Kejadian tersebut secara tidak sengaja terlihat mama Nina maka Nina pun dimarahi habis-habisan hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya. Kulihat Nina segera melepas infusnya dan berlari menuju ke kamar mandi. Nina pun mengurung di kamar mandi tersebut. Dengan terpaksa kami mendobrak pintu kamar mandi dan kami mendapati Nina tergeletak tidak sadarkan diri karena terlalu banyak darah yang keluar.
Setelah sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf kepadanya atas kejadian tadi, namun Nina terus-terusan menangis. Aku pun bertambah bingung, apa yang mesti aku lakukan untuk menenangkannya. Tanpa pikir panjang aku memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan berlari keluar dari kamar menuju taman. Ketika kudekati, Nina berteriak hingga menjadikan orang-orang disekitar memukuliku karena menyangka aku mengganggu Nina. Karena itulah Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina beranjak untuk melaksanakan sholat subuh di masjid, aku pun turut sholat. Namun setelah sholat tiba-tiba Nina menghilang entah kemana. Aku mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama berselang kulihat kerumunan orang dan ternyata Nina sudah tidak sadarkan diri tergeletak dengan HP berada di sampingnya, sepertinya dia baru saja berbicara dengan seseorang. Keadaannya saat itu sangat kritis sehingga membuat pernafasannya harus dibantu dengan oksigen. Kata dokter paru-pari Nina basah yang mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.
Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan bingung aku berdo’a dengan menatap wajahnya yang pucat pasi….
Tiba-tiba ada sebuah sms yang masuk ke HP Nina, tanpa sadar aku pun membaca dan membalas sms tersebut. Aku juga membuka beberapa sms yang masuk ke Hpnya dan aku sangat terharu dengan isinya, ternyata banyak sekali orang yang menyayanginya. Diantaranya adalah orang yang bernama ukhti, dulu sebelum aku mengetahui bahwa ukhti adalah panggilan untuk saudara perempuan, aku sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira ukhti adalah pacar Nina yang menjadi alasan dia menolakku.
Setelah Nina tersadar dari pingsannya, aku menunjukkan sms yang dikirimkan saudari-sadarinya dan dia sangat marah ketika tahu aku sudah membaca dan membalas sms dari saudari-saudarinya. Dia pun akhirnya melarang aku untuk memegang Hpnya apalagi mengangkat dan menghubungi saudari-saudarinya.
Namun tetap saja aku sering bersms-an dengan saudari-saudarinya untuk mengetahui kenapa sikap Nina begini dan begitu? Dari sinilah aku mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak mau bersentuhan apalagi berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina menolak untuk berpacaran serta bertunangan denganku karena di dalam Islam tidak ada istilah seperti itu dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang non Muslim.
Aku juga tahu Nina mencari seorang ikhwan yang mencintai karena Allah bukan atas dasar hawa nafsu. Akhirnya aku tahu akan sikap Nina selama ini semata-mata dia hanya ingin menjalankan syariat Islam secara benar.
Hari berlalu dan aku terus belajar sedikit demi sedikit tentang Islam dari Nina dan sudari-saudarinya, terutama dalam melaksanakan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Saat itu aku meraskan ketenangan danketentrman selama menjalankannya dan menimbulkan perasaan rindu kepada Allah untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Niatku pun muncul untuk segera menikahi Nina agar tidak terjadi fitnah, namun kondisi Nina semakin memburuk. Dia selalu mengigau memanggil saudari-saudarinya yang dicintai karena Allah……
Melihat hal itu aku membawanya ke kota Makassar, kampung mama kandung Nina untuk mempertemukannya dengan saudari-saudarinya, Qadarullah aku tidak berhasil mempertemukan mereka. Yang ada, kondisi Nina semakin parah dan penyakitku juga tiba-tiba kambuh sehigga aku pun harus dirawat di rumah sakit.
Orang tua Nina datang dan membawanya kembali ke kota Makassar tanpa sepengetahuanku karena pada saat itu aku juga diopname. Di Makassar Nina diawasi dengan ketat oleh papanya. Karena papa Nina kurang suka dengan akhwat, apalagi yang bercadar.
Rumah sakit dan rumah yang ditempati Nina dirahasiakan. Dan Nina juga tidak tahu dimana dia berada. Karena kondisinya yang lemah, Nina pun tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan dia kadang dibius, apalgi ketika akan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya agar tidak tahu dimana keberadaannya, karena papanya tidak ingin ada akhwat yang menjenguk Nina. Sampai-sampai Hpnya pun diambil dari Nina. Namun, karena Nina mempunyai HP yang dia sembunyikan dari papanya, sehingga beberapa kali Nina berusaha kabur untuk menemui saudari-saudarinya, hingga akhirnya Nina dikurung di dalam kamar.
Mendengar hal itu, aku langsung menyusul Nina ke Makassar dan aku sempat bicara dengannya dari balik pintu. Nina menyuruhku untuk menemui seorang ustadz di sebuah masjid di kota itu. Dari pertemuanku dengan ustadz itu aku pun diajak ta’lim beberapa hari dan aku nginap disana. Papa Nina menyangka Nina telah mengusirku sehingga ia dimarahi. Setibanya aku dirumah aku menjelaskan duduk perkaranya kepada papa Nina, bahwa dia tidak bersalah dan mengatakan agar pernikahan kami dipercepat.
Hari kamis, 24 November 2006. Kami melangsungkan pernikahan dengan sangat sederhana. Acara tersebut Cuma dihadiri oleh orang tua kami dan dua orang rekanan papa. Setelah akad nikah aku langsung mengantar ustadz sekalian shalat dzuhur. Betapa senangnya hatiku, akhirnya aku bisa merasakan cinta yang tulus karena Allah. Semoga kami bisa membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah dan senantiasa dalam ketaatan kepada Allah….. Doaku saat itu.
Sepulang dari mengantar ustadz, perasaan bahagia itu seakan buyar mendapati Nina yang baru saja menjadi istriku tergeletak di lantai, dari hidung dan multnya kembali berlumuran darah. Dan tangannya terlihat ada goresan………
Kami langsung membawanya ke rumah sakit, di perjalanan, kondisi Nina terlihat sangat lemah. Terdengar suaranya memanggilku dan berkata agar aku terus di jalan yang diridhoi-Nya sambil memegang erat tanganku karena kesakitan. Baru pertama kali ia memegang tanganku dengan tulus, air mataku tak tertahankan melihat keadaan Nina yang terus berdzikir sambil menangis….. dia juga menanyakan saudari-saudarinya di mana?
Setibanya di rumah sakit, aku bertanya-tanya kenapa tangannya tergores. Aku pun menulis sms kepada saudari-saudari Nina. Ternyata, tangan Nina tergores ketika hendak menemui saudari-saudarinya dengan keluar dari kamar. Karena pintu kamar terkunci, Nina ingin keluar melalui jendela sehingga mengakibatkan tangannya tergores.
Nina tak kunjung sadar hingga larut malam, aku pun tertidur dan tidak menyadari kalau Nina bangkit dari tempat tidurnya. Dia ingin sekali menemui saudari-saudarinya dan dia tidak menyadari kalau hari telah larut malam. Dia Cuma berkata, “Pengin ketemu saudari-saudariku karena sudah tidak ada waktu lagi.” Berhubung Nina masih lemah, dia pun jatuh pingsan setelah beberapa saat melangkah.
Aku benar-benar kaget dan bingung mau memanggil dokter tapi tidak ada yang menemani Nina. Akhirnya aku menghubungi salah satu saudarinya untuk menemani. Setelah dokter tiba, Nina sudah tidak bernafas dan bergerak lagi. Pertahananku runtuh dan hancurlah harapanku melihat Nina tidak lagi berdaya….
Dokter menyuruhku keluar. Pada saat itu kukira Nina telah tiada. Namun, begitu dokter keluar, masya Allah! Denyut jantung Nina kembali berdetak dan ia dinyatakan koma. Aku hendak memberi kabar kepada saudari Nina tapi Hpku low bat dan tiba-tiba penyakitku pun kambuh lagi sehingga aku harus diinfus juga……….
Jam 11.30, perasaanku mengatakan Nina memanggilku, maka aku segera bangkit dari tempat tidurku dan melepas infus dari tanganku menuju kamar Nina. Kutatap wajah Nina bersamaan dengan kumandang adzan shalat jum’at. Sembari menjawab adzan aku terus menatap wajah Nina berharap dia akan membuka matanya. Begitu lafadz laailaha illallah, suara mesin pendeteksi jantung berbunyi, menandakan bahwa Nina telah tiada. Aku berteriak memanggil dokter, tapi Qadarullah istriku sayang telah pergi untuk selama-lamanya dari dunia ini. Nina langsung dimandikan selepas shalat jum’at, lalu diterbangkan ke rumah papanya di Malaysia. Untuk terakhir kalinya kubuka kain putih yang menutupi wajah Nina terlihat berseri…….
Aku harus merelakan semua ini, aku harus kuat dan menerima takdirNya…..
Teringat kata-kata Nina, “Berdoalah jika Allah memanggillku lebih awal dengan doa, ‘Ya Allah, berilah kesabaran dan pahala dari musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik.”
Setelah pemakaman, aku langsung kembali ke Jakarta karena kondisiku yang kurang stabil…… Astaghfirullah!! Aku lupa memberitahu saudari-saudari Nina (mungkin karena aku terlalu larut dalam kesedihan), hingga secara spontanita aku menghubungi mereka dan menyampaikan bahwa Nina telah benar-benar tiada. Aku tahu pasti, mereka pasti sedih dengan kepergian saudari mereka yang mereka cinati karena Allah. Dari ketiga saudari Nina, ada seorang yang tidak percaya dan sepertinya dia sangat membenciku. Entah, kenapa sikapnya seperti itu?
Sekiranya mereka tahu, sebelum kepergiannya, Nina selalu memanggil nama mereka…tentulah mereka semakin sedih. Dalam HP Nina terlihat banyak sms yang menunjukkan betapa indahnya ukhuwah dengan saudari-saudarinya. Semoga saudari-saudari Nina memaafkan kesalahannya dan ana pribadi.
“Salam sayang dari Nina tuk kakak Rini, Sakinah, dan Aisyah serta akhwat di Makassar. Teruslah berjuang menegakkan dakwah Ilallah. Syukran atas perhatian kalian…..”(Adhit) Dari rubrik “Kisah Kamu” Majalah El Fata nomor 3 dan 4/Volume 7/2007




Tidak ada komentar:

Posting Komentar